Kamis, 26 September 2013

Budaya Jawa adalah budaya yang berasal dari Jawa dan dianut oleh masyarakat Jawa khususnya di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Budaya Jawa secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 yaitu budaya Banyumasan, budaya Jawa Tengah-DIY dan budaya Jawa Timur. Budaya Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan sehari hari. Budaya Jawa menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan. Budaya Jawa selain terdapat di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur terdapat juga di daerah perantauan orang Jawa yaitu di Jakarta, Sumatera dan Suriname. Bahkan budaya Jawa termasuk salah satu budaya di Indonesia yang paling banyak diminati di luar negeri. Beberapa budaya Jawa yang diminati di luar negeri adalah Wayang Kulit, Keris, Batik dan Gamelan. Di Malaysia dan Filipina dikenal istilah keris karena pengaruh Majapahit.[1] LSM Kampung Halaman dari Yogyakarta yang menggunakan wayang remaja adalah LSM Asia pertama yang menerima penghargaan seni dari AS tahun 2011.[2] [3] Gamelan Jawa menjadi pelajaran wajib di AS, Singapura dan Selandia Baru.[4] [5] Gamelan Jawa rutin digelar di AS-Eropa atas permintaan warga AS-Eropa.[6] Sastra Jawa Negarakretagama menjadi satu satunya karya sastra Indonesia yang diakui UNESCO sebagai Memori Dunia.[7] Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic jangkauan kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera dan Singapura bahkan Thailand yang dibuktikan dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni.[8] Budaya Jawa termasuk unik karena membagi tingkat bahasa Jawa menjadi beberapa tingkat yaitu Ngoko, Madya Krama. Ada yang berpendapat budaya Jawa identik feodal dan sinkretik. Pendapat itu kurang tepat karena budaya feodal ada di semua negara termasuk Eropa. Budaya Jawa menghargai semua agama dan pluralitas sehingga dinilai sinkretik oleh budaya tertentu yang hanya mengakui satu agama tertentu dan sektarian.

Nilai Luhur dalam Budaya Jawa
 0
 
 20
image
Didalam masyarakat Indonesia, masih ada sebagian orang yang percaya bahwa gamelan tertentu memiliki kekuatan gaib. Suara yang dikeluarkan dari alat musik gamelan seringkali dianggap mempunyai daya magis yang bisa mempengaruhi aura kehidupan manusia. Gamelan seperti ini biasanya bukan lagi sekedar alat musik tapi sudah dianggap sebagai pusaka, dan hanya dimainkan pada saat yang sangat istimewa. Oleh karena keistimewaan itu, gamelan demikian mendapat penghormatan sama halnya seperti menghormati leluhur. Sebenarnya, penghormatan seperti kepada leluhur itu tidaklah berlebihan jika kita melihat dari rasa (roso) dan energi yang terlibat saat sang empu menempa dan membentuk gamelan itu hingga menghasilkan nada yang begitu indah hingga terkesan magis; atau saat sang pemilik gamelan itu dahulu sering menumpahkan perasaan dan pikiran dengan memainkan gamelannya seperti halnya seorang pianis meresap dalam permainan pianonya.
Sebagai alat musik yang dipandang memiliki daya magis, gamelan pusaka seringkali digunakan untuk mengiringi gendhing-gendhing Jawa yang memiliki makna sangat “khusus”, yang seolah mengandung misteri seperti misalnya gendhing Tunggul Kawung yang konon untuk “menahan/memindahkan” hujan, atau sebaliknya gendhing Mego Mendhung yang untuk mendatangkan hujan lebat. Meskipun semua itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, para pemain gamelan (karawitan) bisa membuktikannya dengan “rasa” yang mereka miliki.
Masyarakat Jawa adalah representasi dari harmonisasi dan pencapaian ekstase untuk sadar kosmis. Gamelan tidak sekadar perkara musik tapi menjadi pertaruhan orang Jawa mengolah rasa dan mengabdikan diri untuk sensibiltas kosmis (alam, manusia, dan Tuhan). Hakikat gamelan adalah hakikat kehidupan manusia lahir dan batin. Kesadaran atas gamelan bagi masyarakat Jawa ini mengarah pada kecenderungan mistik atau sakralisasi. Dan gamelan tidak sekadar urusan melodi, harmoni, dan dinamik. Keharmonisan dan keteraturan dalam gamelan merupakan representasi dari perjalanan suci menuju Tuhan. Ketukan gong bisa diartikan simbol pencapaian tingkat (maqam) tertentu setelah orang beralih dari suasana dzikir dan sunyi secara bergantian.
Dengan simbolisasi atas alam kerohanian Jawa maka sakralisasi terjadi dengan kesadaran batin dan laku. Pandangan mistik terhadap gamelan itu diterjemahkan oleh penguasa dan ahli agama dalam pelbagai ritus di keraton. Gamelan menjadi perangkat musik dengan nafas tradisi dan keagamaan. Ritus gamelan menjadi ritus dengan permainan jagad simbol dan anutan kepercayaan terhadap nilai-nilai kejawaan dan religiositas.
Selain itu gamelan merupakan salah satu jenis musik yang terdiri dari berbagai alat musik, diantaranya kendang, rebab, celempung, gambang, gong, dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat mempunyai fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan. Misalnya, gong berperan menutup sebuah irama yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending. Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelan merupakan keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama. Irama yang khas yang dihasilkan merupakan perpaduan jenis suara dari masing-masing unit peralatan gamelan. Secara filosofis gamelan Jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa.
Sekar macapat ADI LUHUNGE KAGUNAN JAWI yang terangkum dalam pupuh dhanngula dan pupuh sinom, yang berisikan tentang piwulang mengenai falsafah gamelan Jawa. Semoga bait-baik macapat dibawah ini bisa untuk menambah wawasan serta merubah cara pandang kita terhadap budaya Jawa yang semakin hari semakin tersisih dengan budaya manca.
Dandanggula
Kang cinakup seni budya Jawi, rupa-rupa kalamun pinetang, basa lan sastra Jawane, sarta macapatipun, krawitan gamelan ugi, tuhu ngandhut falsafah, ingkang nyata agung, tumrap jejering manungsa, dadi tepa palupi ala lan becik, ing kauripanira.
Dene seni gamelan puniki, yasan dalem Sunan Kalijaga, kang kebak tuladhane, becik dadi panuntun, kanggo nggayuh urip utami, ingkang wus manjing dadya, kapribaden luhur, tumanduk mring bangsa kita, mangga sami ngleluri budaya Jawi, mamrih teguh santosa.
Jeneng GAMBANG ingkang mengku werdi, mbanyu mili kentir aneng sendhang, ngregengi tetabuhane, lir angin kang tumiyup, saya ngrangin rinenggeng gendhing, lamun bahan wilahan, asal saking kayu, mrih manggih hayu raharja, wit jatining urip mung ngudi basuki, donya prapteng delahan.
KEMPUL lumrah ingaran alit, mengku tetapsiran pirang-pirang, saka pakem sayektine, gandheng lan tembung kumpul, werdine gya samya nyawiji, manunggal cipta karsa, nut ugeranipun, iku tumraping agama, pranatan kang dadi wewatoning urip, ingudi mrih raharja.
Kalamun GONG kang araneki, wujud gamelan kang paling harda, memper kempul ingkang gedhe, dumadi saking prunggu, tinabuh ing panutup gendhing, tandha mungkasi pada, mangka werdinipun, yen gesang sampun pinungkas, dhawah ing gong wangsul ing kasidan jati, sepuh tanapi mudha.
Terjemahan :
Yang termasuk budaya Jawa, beraneka macam kalau dihitung, bahasa dan sastra Jawanya, serta tembang macapatnya, dan juga krawitan serta gamelan, semua mengandung falsafah, yang sangat luhur, terhadap penampilan manusia, menjadi tauladan baik dan buruk, pada kehidupan kita.
Sedangkan seni gamelan itu, hasil karya Sunan Kalijaga, yang penuh dengan contoh/teladan, baik untuk dijadikan petunjuk, untuk mencapai hidup yang baik, yang telah masuk menjadi, kepribadian yang luhur, sebagai pelindung terhadap bangsa kita, marilah sama-sama melestarikan budaya Jawa, agar  teguh dan sentosa.
Yang disebut GAMBANG itu mengandung maksud, air yang mengalir hanyut di sendang, memeriahkan alunan musik, ibarat angin yang berhembus, bertambah merdu alunan gending/lagu, kalau bahannya dari wilahan (kayu yang belah), berasal dari kayu, agar menemukan selamat dan sejahtera, hidup yang sesunggunya hannya mencari keselamatan, di dunia sampai dengan akhirat.
KEMPUL biasanya disebut kecil, mengandung penafsiran yang bermacam-macam, dari pedoman yang baku sesungguhnya, berhubungan dengan kata kumpul (bersatu), artinya segaralah bersatu, bersatu cipta dan karsanya, menurut peraturannya, itu apabila menurut agama, aturan yang menjadi pedomannya hidup, yang dicari agar selamat dan sejahtera.
Kalau yang namanya GONG, berupa gamelan yang paling besar, mirip dengan kempul yang besar, yang berasal dari bahan perunggu, ditabuh pada pada saat penutupan gending/lagu, sabagai tanda mengahiri pada (syair), padahal maksudnya, jika hidup itu telah diakhiri, jatuh pada gong kembali pada kesempurnaan sejati, tua atuapun muda.
Sinom
DEMUNG sinebut balungan, saya greget mahanani, pindha jumbuhing tatabuhan, kang dadi peran utami, mligining wayang kulit, ateges andhamane mung, siji ra neka-neka, mantep manembah ing Gusti, kanthi manut miturut  reh parentah-Nya.
Bebasan bojone dhalang, nenggih GENDER araneki, baku ing babagan bawa, aneng pagelaran ringgit, mligine aninthingi, bawa wiraswaranipun, nambah ngrangin swasana, mengku falsafah kang inggil, aywa gampang tumandang nir sambekala.
Mangka jangkeping tabuhan, yeku SITER den wastani, saya gayeng nggo jineman, banget ngresepake ati, mungal swara thing-thing-thing, sinartan gender binarung, ingkang ngemu surasa, sing pinter weh sukeng galih, amemangun karyenak tyasing sasama.
Nora kleru byola Jawa, ya REBAB araneki, munggah kanthi sinenggrengan, nganyut rumesep ing galih, anggambar raos sedhih, mligining swasana tlutur, den samya ngrembag ing bab, sagung karya den rampungi, mrih sembada sadaya ingkang sinedya.
Minangka purnaning sekar, mangga sami anyawiji, angleluri kabudayan, budaya kang edi peni, wus dadi jati dhiri, langkung becik den sengkuyung, tan lirwa nembah muja, konjuk mring Hyang Maha Suci, kabudayan dimen lestari ngrembaka.
Terjemahan:
DEMUNG disebut juga balungan, semakin bertambah semangat, ibarat telah sesuai dengan iramanya, yang menjadi peran utama, khususnya dalam wayang kulit, berarti hanya sebagai tokoh, hanya satu dan tidak bermacam-macam, mantab manembah pada tuhan, dengan patuh sesuai dengan perintah-Nya.
Ibarat itrinya dalang, yaitu GENDER namanya, sudah baku tentang bawa (pembukaan gending), pada pertunjukan wayang kulit, khususnya membunyikan (mengetuk), bawa wiraswaranya (penyanyi laki-laki), menambah merdu suasananya, mengandung falsafah yang sangat tinggi, janganlah mudah bertindak agar terhindar dari cobaan.
Padahal sempurnanya tetabuhan (irama), yaitu disebut SITER, bertambah nikmat dibuat jineman (irama lagu), sangat menarih hati, bunyi suara thing-thing-thing, seiring dengan suara gender, yang mengandung maksud, yang pandai memberi kedamaian, berbuat untuk menyenangkan hati sesama.
Tidak salah biola Jawa, yaitu REBAB namanya, meningkat dengan suara yang mengalun, hanyut meresap didalam hati, menggambarkan perasaan yang sedih, khususnya swasana tlutur (irama sedih), semua membahas pada bab (permasalahan), semua pekerjaan di selesaikan, agar semua yang diinginkan dapat terkabul.
Dan sebagai penutupnya lagu, marilah kita semua bersatu, melestarikan kebudayaan, budaya yang sangat indah, yang telah menjadi jati diri, lebih baik kita mendukung, tidak lupa kita untuk berdoa, kepada tuhan yang maha suci, agar kebudayaan kita lestari dan berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar